Sejarah Pengadilan Agama Blitar

1. Pendahuluan.
Blitar dalam Lintasan Sejarah.
Sebelum diuraikan mengenai sejarah Pengadilan Agama Blitar, ada baiknya terlebih dahulu diketahui tentang sejarah Balitar yang kemudian terkenal dengan Blitar. Dalam fisafat sejarah kita diberi tahu bahwa sesungguhnya perjalanan hidup manusia senantiasa berada dalam tiga dimensi waktu, masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Masa lampau telah menjadi sejarah, sedangkan masa yang akan datang, itu baru rencana. Keduanya menyatu pada masa/saat sekarang ini.
Sejarah masa lampau telah membentuk warna corak watak dan budaya masyarakat Blitar yang berpengaruh terhadap keberadaan Pengadilan Agama Blitar sekarang dan selanjutnya di masa yang akan datang. Balitar didirikan kurang lebih pada sekitar abad ke 14. Menurut beberapa buku sejarah terutama buku Bale Latar, dimulai dari Nilasuwarna salah satu putra dari Adipati Wilwatika Tuban. Dia salah satu dari orang kepercayaan kerajaan Majapahit yang ditugaskan untuk membabat alas (hutan) selatan. Blitar atau Balitar dahulunya adalah hutan belantara yang belum pernah didatangi manusia. Ketika tentara Mongol di bawah pemerintahan Khu Bhilai Khan datang untuk menyerang kerajaan Singosari, dengan dibantu oleh Raden Wijaya yang kemudian setelah Singosari jatuh balik mengahncurkan tentara Mongol tersebut, sampai- raja Mongol Khu Bhilai Khan sendiri tewas di medan tempur tepian kali Brantas. Sebahagian dari prajurit Mongol yang tersisa lari untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi dihutan bagian selatan. Adalah Nilasuwarna di beri tugas oleh kerajaan Majapahit untuk menumpas sisa-sisa prajurit Mongol atau Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan, karena prajurit Tartar sudah melakukan kudeta (pemberontakan) yang membahayakan kejayaan kerajaan Majapahit. Karena berhasil mengalahkan dan mengusir prajurit Tartar, kem(bali) kenegeri asalnya Mongolia meninggalkan hutan selatan, dan dengan demikian wilayah hutan selatan kem(bali) dalam kekuasaan Majapahit, Nilasuwarna di berikan hadiah hutan selatan yang semula merupakan medan perang dengan prajurit Tartar, yang sekarang menjadi wilayah Blitar. Seiring berjalannya waktu hutan selatan tersebutpun di beri nama Bali-Tar dari kata bali atau kembali dan Tartar untuk mengingatkan bahwa pernah terjadi peperangan melawan prajurit Tartar di tempat itu, dan Nilaswarna berhasil menumpas dan mengusir tentara Tartar untuk kembali ke negeri Mongol dan merebut kembali wilayah hutan selatan. Mulai saat itu Nilaswarna bergelar Adipati Ariyo Blitar menjalankan kekuasaan di bawah kerajaan Majapahit. Adipati Ariyo Blitar menikah dengan Dewi Rayung Wulan dan memiliki seorang putra bernama Djoko Kadung. Akan tetapi tak dinyana di tengah pemerintahannya terjadi pemberontakan yang di lakukan oleh patihnya sendiri yang bernama Ki Sengguruh Kinareja, ia berhasil membunuh Aryo Balitar dan menggantikannya memerintah bergelar Adipati Ariyo Balitar II. Mengetahui bahwa ayah kandungnya di bunuh Djoko Kadung pun akhirnya menuntut balas. Setelah berhasil menuntut balas Djoko Kadung pun di angkat menjadi Adipati Aryo Balitar III. Jauh sebelum itu wilayah hutan selatan yang kini menjadi daerah Kabupaten Blitar, menurut catatan yang paling tua dalam prasasti Kinewu yang dipahatkan pada belakang arca Ganesa dari abab X, memberikan petunjuk bahwa wilayah Blitar merupakan bagian dari kerajaan Balitung yang berpusat di daerah Kedu, Jawa Tengah. Ketika pusat Pemerintah pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar abad ke-X, daerah-daerah yang sekarang menjadi wilayah Blitar mulai berkembang. Pada masa kerajaan Singasari berkembang ada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Kartanegara (1268-1292) yang dikenal dengan prasasti Petung Ombo tahun 1260 M, patung Ganesa dari Boro dan Candi Sawentar membuktikan bahwa, daerah Blitar telah memegang peranan yang penting. Pada zaman Majapahit kedudukan daerah Kadipaten Blitar menjadi sangat penting, itu dibuktikan dengan adanya candi Kotes yang didirikan pada masa pemerintahan Nararya Wijaya atau Kerta Rajasa Jayawardana (1294-1309). Candi makam raja itu terletak di desa Sumberjati dukuh Simping Kecamatan Suruhwadang. Saat yang sangat penting bagi pertumbuhan sejarah Blitar dewasa ini terdapat pada masa Pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328). Salah satu prasastinya ditemukan di desa Blitar sekarang. Prasasti tersebut dikenal dengan prasasti Blitar I yang bertarikah “Swasti sakawarsatita 1246 Srawanamasa tithi pancadasi Suklapaksa wu para wara ….” atau 5 Agustus 1324 Masehi. Prasasti ini memuat saat berdirinya Blitar sebagai daerah swatantra, yang kemudian ditetapkan menjadi hari lahirnya Kabupaten Blitar. Masa-masa pemerintahan Raja-raja Majapahit kemudian, nama Blitar berkali-kali disebutkan dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis moleh Pujangga : Prapanca. Naskah ini selesai ditulis bertepatan dengan 1 Oktober 1363 M. Blitar dan tempat-tempat lain telah dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada dalam rangka perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Wilayah Jawa Timur yang dimulai pada Tahun 1357 M.
Pada fase kepemimpinan Djoko Kadung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat, Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah perdikan. Rakyat Blitar kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda, tidak hanya pribumi, tetapi juga didukung sepenuhnya oleh etnis Arab; Cina; dan beberapa bangsa Eropa lainnya yang mendiami Blitar.

2. Pengaruh Para Ulama dan Dakwah Islam di Blitar
Perkembangan dakwah Islam yang dilakukan oleh Para Wali di Blitar dipandang sangat berhasil mengalihkan keyakinan masyarakat dari agama Hindu dan Budha sebagai agama Negara sejak masa pemeritahan Kediri, Singosari dan Majapahit, yang bekasnya masih tampak nyata sampai sekarang yaitu candi Penataran yang dibangun pada masa tiga kerajaan besar tersebut. Dalam kehidupan dan budaya masyarakat Blitar pengaruh masa lalu itu masih terasa walaupun keyakinan keagamaan telah berubah menjadi Islam. Hal ini tampak nyata dalam perkara wali adlol yang menjdi kewengan Pengadilan Agama Blitar sekarang. Perkara wali adlol kebanyakan disebabkan karena wali nikah tidak bersedia menikahkan anak perempuannya disaebabkan karena hal-hal yang dianggap melanggar tradisi lama seperti antara lain karena antara kedua calon pengantin berhadap-hadapanan rumah, rumah berseberangan jalan atau berseberangan sungai, weton yang tidak pas, tunggal buyut dan lain-lainnya. Di antara penyebar Islam pada masa awal tersebut adalah Syekh Subakir yang menurut masyarakat Blitar, petilasannya (monumen peringatan) terletak di Desa Nglegok, Kecamatan Nglegok Blitar berdekatan dengan candi Penataran. Syekh Subakir adalah penyebar Islam di tanah Jawa generasi awal pada zaman Kediri, masa pemerintahan Joyoboyo, berasal dari Persia jauh sebelum generasi Wali Songo. Beliau berhadapan langsung dengan tokoh-tokoh agama Jawa, Hindu dan Budha di pusat keuasaannya, pada masa jaya-jayanya dan didukung oleh kerajaan-kerajaan besar yang melindunginya. Ia berhasil mengislamkan masyarakat Jawa termasuk di dalamnya masyarakat Blitar. Keberhasialnnya itu tercatat dalam berbagai catatan kuno, walau kapan meninggalnya dan di mana kuburannya menjadi polemik dalam sejarah pengembangan Islam di tanah Jawa, sebagai mana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, dan Serat Jangka Joyoboyo Syekh Subakir. Akan tetapi keberadaan petilasannya di Blitar menunjukkan bahwa beliau pernah berdakwah di daerah Blitar sebagai salah satu pusat agama Jawa, Hindu dan Buda pada masa kejayaan tiga kerajaan besar yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit, dan karena letak Blitar sendiri berada dalam garis bangunan segi tiga dari ketiga kerajaan besar tersebut. Seorang tokoh sufi lainnya dari kerajaan Mataram Islam Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga merupakan pejuang melawan Belanda yaitu Joyodigdo. Pada tahun 1825, timbul perselisihan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro. Salah satu pengikut pangeran Diponegoro yang setia yakni, Joyodigdo. Bersama Diponegoro, Joyodigo terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap karena siasat licik Belanda. Namun wmeskipun Pangeran Diponegoro telah diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, tidak berarti pejuangan Joyodigdo padam walau saat pecah perang Pangeran Diponegoro, usianya masih menginjak sekitar 30-an. Tahun, ia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu banyak penjagaan oleh Belanda. Joyodigdo memilih perang gerilya menuju arah timur samapai di daerah Blitar. Pada saat patih kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan penggantinya, karena jasa-jasanya Joyodigdo diangkat menjadi patih kadipaten Blitar. Joyodigdo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan, ia mampu mengambil kebijakan yang baik. Karena kecakapannya ini, kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di Jalan Melati Kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigdo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama, Pesanggrahan Joyodigdo. Beberapa peninggalanya masih terwat baik di rumah tersebut.
3. Pengadilan Agama Blitar Berdiri
Ketika penganut Agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau Qodhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seseorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka, di Aceh dengan nama Mahkamah Syari’ah Jeumpa , di Sumatra Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara’, di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerajaan Islam Ukai istilah “Hakim Syara” atau”Qadhi Syara”, di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syekh Arsyad Al-Banjari, kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar, di Sumbawa Hakim Syara’ di Sumatra Barat nama Mahkamah Tuan Kadi atau Angku Kali, di Bima (NTB) dengan nama Badan Hukum Syara dan, di kerajaan Mataram Pengadilan Surambi, disebut demikian karena tempat mengadili dan memutus perkara adalah di Serambi Masjid. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan resolute der indische regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hokum kewarisan menurut hukum Islam, atau compendium freijer; untuk dipergunakan di pengadilan VOC . Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan menurut hukum Islam yang dibuat yang dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang dan Makassar. Masa (Periode ) Pemerintahan Hindia Belanda, dalam pasal 1 stbl.1882 no 152 di sebutkan bahwa di tempat-tempat dimana telah di bentuk (pengadilan) landraad maka disana di bentuk Pengadilan Agama. Didalam sbl.1882 no. 152 tersebut tidak disebut mengenai kewenangan pengadilan agama. Didalam pasal 7 hanya disinggung potongan kalimat yang berbunyi “keputusan raad agama yang melampaui batas wewenang” yang memberikan petunjuk ada peraturan sebelumnya yang mengatur mengenai ordonasi yang menyangkut wewenang Pengadilan Agama. Ordonasi tersebut adalah stbl. 1820 no 22 jo kemudian stbl. 1835 no.58. dalam pasal 13 stbl. 1820 no.22 jo. Stbl 1835 no.58, disebutkan : “jika diantara orang Jawa dan orang Madura terdapat perselisihan (sengketa) mengenai perkawinan maupun pembagian harta pusaka dan sengketa-sengketa sejenis dengan itu harus diputus menurut Hukum Syara’(Agama) Islam, maka yang menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli Agama Islam”. Sekitar satu tahun setelah dikeluarkannya Stb. 1882 tersebut Pengadilan Agama Blitar berdiri dan ditunjuk sebagai ketua adalah Imam Burhan yang memimpin Pengadila Agama Blitar sampai dengan tahun 1934 yang kantornya di serambi Masjid Agung Blitar, kemudian digantikan oleh M. Irham sampai tahun 1956, selanjutnya digantikan oleh KH Dahlan sampai tahun 1972. Kemudian sekitar tahun 1972 ketika Pengadilan Agama Blitar dipimpin oleh K. H. Muchsin, kantor dipindahkan dari serambi Masjid Agung menempati sebuah rumah yang terletak di kampung Kauman atas pemberian Bupati Blitar. Pada tahun 1981 ketika Pengadilan Agama Blitar dipimpin oleh K.H. Abdul Halim dengan wakilnya Drs.H.A.A. Taufiq, S.H. kantor dipindahkan ke Jln Imam Bonjol nomor 42, Blitar sampai sekarang.

4. Daftar Pustaka
– Agus Sunyoto, Wali Songo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan,
Transpustaka, Jakarta, 2011.
– Blogspot.com/2011/11 Sejarah Pengadilan Agama di Indonesia. Html
– carapedia.com., Asal Usul Kota Blitar.
– Irawan Djoko Nugroh, Majapahit Pradaban Maritim, Suluh Nusantara Bakti,
Jakart, 2011.
– Pengadilan Agama Blitar, Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Blitar,
– Slamet Mulyono, Nagara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta 2006.
– Website Resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar, Sejarah Kabupaten
Blitar, www blitarkab.go.id/?=143.